Bab
I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Gangguan kesehatan yang umum selama
kehamilan adalah tekanan darah tinggi (hipertensi). Muncul dengan berbagai
cara, insiden ini berkisar antara 5 hingga 10 persen. Selama beberapa dekade
terakhir, penggunaan istilah, gejala yang diidentifikasi, metode diagnosis, dan
pendekatan penatalaksanaan telah berubah. Hipertensi selama kehamilan tidak
seperti hipertensi yang terjadi pada umumnya, tetapi mempunyai kaitan erat
dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi baik pada janin maupun pada
ibu. Masih ada hal-hal lain yang berhubungan dengan definisi hipertensi. Pada
masa lalu, hipertensi didefinisikan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg
dan/atau diastolik 15 mmHg dari tekanan darah normal. Definisi ini terbukti
tidak cocok untuk definisi preeklamsia. Oleh karen itu, definisi hipertensi
pada kehamilan telah diperbaharui sebagai peningkatan tekanan sistolik ≥ 140
mmHg dan diastolik ≥ 90 mmHg setelah minggu ke-20 kehamilan. Peran bidan dalam
hubungannya dengan gangguan tekanan darah tinggi selama kehamilan terletak pada
ketelitiannya melakukan pemeriksaan, mengidentifikasi dini, dan melakukan
konsultasi atau berkolaborasi dengan dokter.
Bab II
Tinjauan
Teori
2.1 Gangguan Hipertensi pada Kehamilan
Gangguan kesehatan yang umum selama
kehamilan adalah tekanan darah tinggi (hipertensi). Muncul dengan berbagai
cara, insiden ini berkisar antara 5 hingga 10 persen. Selama beberapa dekade
terakhir, penggunaan istilah, gejala yang diidentifikasi, metode diagnosis, dan
pendekatan penatalaksanaan telah berubah. Sementara itu, sejumlah penelitian
belum dapat mengidentifikasi dengan jelas etiologi tekanan darah tinggi, juga
cara yang pasti untuk memprediksi ataupun mengatasinya. Institut Kesehatan
Nasional, melalui Kelompok Kerja Program Pendidikan Untuk Penanganan Tekanan
Darah Tinggi pada Kehamilan telah menetaokan beberapa panduan berisi definisi
dan penatalaksanaan yang akan menjadi acuan untuk banyak aspek yang akan
dibahas pada bab ini.
Hipertensi selama kehamilan tidak seperti
hipertensi yang terjadi pada umumnya, tetapi mempunyai kaitan erat dengan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi baik pada janin maupun pada ibu. Komplikasi
yang umum terjadi pada ibu adalah abrupsio plasenta, disseminated intravascular
coagulation, perdarahan otak, gagal hati, dan gagal ginjal akut. Janin
mempunyai risiko IUGR, prematur, dan kematian.
2.1.1 Hipertensi kronis
a. Hipertensi dikatakan kronis jika muncul sebelum
kehamilan atau pada usia kemahilan dibawah 20 minggu.
b. Tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan diastolik
> 90 mmHg.
c. Apabila hipertensi didiagnosis selama kehamilan,
tetapi tidak kunjung menurun hingga pasca partum.
2.1.2 Preeklamsi adalah sekumpulan gejala yang secara
spesifik hanya muncul selama kehamilan dengan usia lebih dari 20 minggu (kecuali
pada penyakit trofoblastik) dan dapat didiagnosis dengan kriteria berikut:
a. Ada peningkatan tekanan darah selama kehamilan
(sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg), yang sebelumnya normal,
disertai proteinuria (≥ 0,3 gram protein selama 24 jam atau ≥ 0,3 mg/dL dengan
hasil reagen urine ≥ 1+).
b. Apabila hipertensi selama kehamilan muncul tanpa
proteinuria, perlu dicurigai adanya preeklamsi seiring kemajuan kehamilan, jika
muncul gejala nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri abdomen, nilai tombosit
rendah, dan kadar enzim ginjal abnormal.
2.1.3 Preeklamsi berat
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110
mmHg.
b. Proteinuria > 2,0 gram dalam 24 jam (dengan reagen
2+ atau 3+), muncul pertama kali selama kehamilan dan menurun setelah
persalinan.
c. Peningkatan nilai serum kreatinin (>1,2 mg/dL
kecuali jika peningkatan telah diketahui sebelumnya).
d. Jumlah trombosit < 100.000 sel/mmᶟ.
e. Peningkatan aktifitas enzim hati (alanin
aminotransferase, aspirat aminotransferase atau keduanya).
f. Gejala gangguan saraf: nyeri kepala menetap, gangguan
penglihatan.
g. Nyeri ulu hati yang menetap.
h. Oliguria “400 mililiter dalam 24 jam”
2.1.4 Eklamsi
a. Gejala kejang, sebagai gejala preeklamsia yang telah
disebutkan di atas (jika kejang tidak dapat dikaitkan dengan penyebab lain).
2.1.5 Hipertensi kehamilan
a. Peningkatan tekanan darah setelah 20 minggu kehamilan
≥ 140 mmHg untuk sistolik dan ≥ 90 mmHg untuk diastolik (sebelumnya disebut
hipertensi yang dipicu kehamilan) tanpa proteinuria atau hasil evaluasi
laboratorium yang abnormal selama kehamilan dan yang kembali normal 12 minggu
pascapartum.
b. Penentuan akhir antara hipertensi kehamilan atau
preeklamsia hanya dapat dilakukan pada periode pascapartum.
2.1.6 Preeklamsia yang disertai hipertensi kronis
a. Biasanya terjadi pada hipertensi kronis.
b. Prognosis memburuk pada janin dan ibu.
c. Bukti baru adanya proteinuria.
d. Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba padahal
sebelumnya terkontrol baik.
e. Trombositopenia (trombosit > 100.000).
f. Peningkatan enzim hati.
2.1.7 Sindrom HELLP (Hemolysis-Elevated Liver enzymes-Low
Platelets)
a. Kontroversi apakah gejala ini berbeda dari preeklamsia
berat.
b. Kesakitan perinatal yang sama dengan preeklamsia
berat.
Ada
dua hal penting yang menjadi pedoman dalam mendiagnosis preeklamsia klasik.
Saat ini edema tidak lagi dijadikan komponen ketiga dari trilogi preeklamsia.
Edema selama kehamilan merupakan kondisi yang normal pada wanita tanpa
preeklamsia. Di sisi lain, kadang-kadang edema tidak m uncul walaupun ada
kelainan fungsi ginjal dan hati. Oleh karena itu, pedoman yang baru
mempertimbangkan preeklamsia sebagai diagnosis hipertensi pada kehamilan dan
proteinuria.
Masih
ada hal-hal lain yang berhubungan dengan definisi hipertensi. Pada masa lalu,
hipertensi didefinisikan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg dan/atau
diastolik 15 mmHg dari tekanan darah normal. Definisi ini terbukti tidak cocok
untuk definisi preeklamsia. Oleh karen itu, definisi hipertensi pada kehamilan
telah diperbaharui sebagai peningkatan tekanan sistolik ≥ 140 mmHg dan
diastolik ≥ 90 mmHg setelah minggu ke-20 kehamilan. Namun, kelompok kerja NIH
merekomendasikan untuk melakukan observasi ketat terhadap wanita dengan
peningkatan tekanan darah 30/15, khususnya jika terdapat proteinuria atau
hiperurisemua.
Peran
bidan dalam hubungannya dengan gangguan tekanan darah tinggi selama kehamilan
terletak pada ketelitiannya melakukan pemeriksaan, mengidentifikasi dini, dan
melakukan konsultasi atau berkolaborasi dengan dokter. Preeklamsia bisa
menimbulkan dampak yang sangat serius baik pada janin maupun pada ibu. Oleh
karena itu, mempertahankan tingkat kecurigaan yang tinggi dan menghindari
asumsi berlebihan bahwa temuan yang diperoleh menunjukkan kondisi normal akan
membantu menegakkan diagnosis yang tepat.
Sangat
penting membedakan hipertensi kronis dari preeklamsia. Yang lebih penting lagi
adalah mengenali ketika preeklamsia lebih menonjol dibanding hipertensi kronis.
Hipertensi kronis, menurut definisi aslinya, adalah hipertensi yang terjadi
sebelum kehamilan atau sebelum usia kehamilan mencapai 12 minggu. Wanita dengan
hipertensi kronis dapat diobati dengan obat anti hipertensi. Tekanan darahnya
harus dijaga tetap stabil selama kehamilan. Apabila tekanan darahnya melebihi
batas normal atau tiba-tiba ia menunjukkan proteinuria, kondisi ini dapat
dikatakan sebagai tanda preeklamsia atau penyakit ginjal dan bukan merupakan
hal yang disebabkan oleh hipertensi kronis. Penatalaksanaan kolaborasi pada
wanita ini mutlak diperlukan. Tindakan pertama yang harus dilakukan adalah
pemeriksaan fungsi ginjal dan hati serta diabetes. Pemeriksaan mata merupakan
data dasar tambahan untuk mengetahui proses dan tingkat keparahan penyakit ini.
Pencegahan
preeklamsia sangat terbatas karena etiologinya belum diketahui. Pemeriksaan
dengan penapisan belum menunjukkan hasil yang memadai untuk mengetahui tingkat
risiko suatu populasi. Oleh karena itu, pendekatan yang bijaksana adalah
mengidentifikasi wanita yang berisiko atau mereka yang menunjukkan gejala.
Kondisi yang dihubungkan dengan preeklamsia adalah sebagai berikut:
1. Nuliparitas
2. Penyakit trofoblastik (70 persen terjadi pada kasus
mola hidatidosa)
3. Kehamilan kembar, tanpa memperhatikan paritas
4. Riwayat penyakit:
a. Hipertensi kronis
b. Penyakit ginjal kronis
c. Diabetes melitus pra-kehamilan
5. Riwayat preeklamsia atau eklamsia dalam keluarga
6. Riwayat preeklamsia sebelumnya
7. Peningkatan risiko untuk multipara yang memiliki
pasangan seks yang baru
8. Etnis Amerika-Afrika dan Asia
Bab
III
Tinjauan
Teori
3.1 Tanda dan Gejala Preeklamsia
Tanda
dan gejala preeklamsia merupakan dasar pengkajian riwayat rutin, pemeriksaan
fisik, dan penapisan laboratorium yang dilakukan pada setiap kunjungan
prenatal. Apabila ditemukan tanda atau gejala preklamsia, perlu dilakukan
tindak lanjut.
3.1.1 Riwayat kesehatan
a. Nyeri kepala menetap yang tidak kunjung hilang dengan
obat biasa, kaji riwayat nyeri kepala dan gangguan penglihatan untuk
menyingkirkan kecurigaan sakit kepala migrain, kebutuhan terhadap kaca mata,
stres dan tekanan dalam kehidupan pribadi wanita.
b. Pusing, penglihatan kabur, bintik di mata, atau
skotomata
c. Nyeri ulu hati yang menetap
3.1.2 Pemeriksaan fisik
a. Peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan
diastolik ≥ 90 mmHg atau lebih.
b. Periksa tekanan darah cara paling akurat.
1) Gunakan ukuran manset yang tepat (dapat membungkus
lingkar lengan lebih dari 80%)
2) Posisi pasien duduk atau berbaring, lengan sejajar
jantung
3) Pasien dalam keadaan istirahat
4) Hasil terbaik diperoleh jika pemeriksaan dilakukan
dengan jarak empat hingga enam jam
5) Bunyi terakhir adalah tekanan diastolik, bukan suara
yang menghilang perlahan (ini merupakan suara Korotkoff V)
c. Pemeriksaan mata
1) Papiledema
2) Konstriksi pembuluh darah mata A-V
3) Penyempitan pembuluh darah
4) Perdarahan
3.1.3 Tes laboratorium
a. Pemeriksaan reagen urine: protein ≥ 1+ diikuti
pemeriksaan urine 24 jam
b. Hemoglobin dan hematokrit
c. Hitung trombosit: jika trombosit kurang dari 100.000
sel/mmᶟ, programkan pemeriksaan koagulasi di
laboratorium
1) Fibrinogen
2) Produk pecahan fibrin
3) PT (waktu protrombin)
4) PTT (waktu protrombin parsial)
d. Tes fungsi hati
e. Tes fungsi ginjal
1) Total protein urine selama 24 jam dan kreatinin
klirens
2) Serum kreatinin
3) Serum asam urat
Preeklamsia adalah suatu penyakit yang
muncul pada awal kehamilan dan berkembang secara perlahan dan hanya akan
menunjukkan gejala jika kondisi semakin memburuk. Adalah penting mengamati
gejala awal preeklamsia sebelum penyakit benar-benar muncul dan tidak mesti
selalu ada peningkatan tekanan darah yang signifikan. Walaupun merupakan gejala
utama dalam menegakkan diagnosis preeklamsia, pada kenyataan hipertensi tidak
terjadi pada semua kasus preeklamsia dan tidak selalu berkaitan dengan tingkat
keparahan penyakit.
Oleh karena itu, sangat penting
meningkatkan kejelian ketika melakukan penapisan terhadap gejala yang ada.
Tekanan darah wanita mungkin hanya meningkat sedikit, atau mungkin hanya
terjadi edema pada tangan dan wajah tidak cukup untuk menegakkan diagnosis tetapi
mengindikasikan retensi natrium, dan ini memerlukan observasi ketat. Pada
wanita yang menunjukkan kecenderungan preeklamsia, tetapi gejala yang muncul
tidak memenuhi kriteria yang ada, bidan perlu melakukan pemeriksaan
laboratorium (hemoglobin, hemotokrit, trombosit, LDH, AST, ALT). Seperangkat
pemeriksaan laboratorium dasar akan sangat bermanfaat mendiagnosis preeklamsia
sejak dini sekaligus menentukan perjalanan penyakit dan tingkat keparahannya.
Selain evaluasi laboratorium, wanita
tersebut harus dianjurkan untuk mengurangi ketegangan dalam hidupnya dan
menambah periode istirahat. Tekankan pula untuk menghitung jumlah gerakan
janin. Apabila ada dugaan preeklamsia, anjurkan wanita tersebut datang lebih
sering ke pelayanan kesehatan. Diet tinggi protein serta upaya meningkatkan
asupan cairan dan mengurangi asupan garam adalah hal-hal yang dapat megurangi
gejala yang ada. Mengurangi asupan garam dan penggunaan diuretik tidak termasuk
dalam penatalaksanaan preeklamsia atau eklamsia potensial atau aktual.
Bab
IV
4.1 Penatalaksanaan
Ketika diagnosis preeklamsia ditegakkan
atau ada dugaan kuat preeklamsia, konsul dokter dibutuhkan. Persalinan
merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi preeklamsia. Hal terbaik
yang dapat dilakukan bidan adalah memfasilitasi persalinan. Akan tetapi, usia
kehamilan yang belum cukup ini akan membawa risiko yang mengancam kehidupan
janin. Oleh karena itu, upayakan penatalaksanaan preeklamsia yang mengutamakan
keselamatan ibu dan janin. Apabila persalinan akan menimbulkan efek buruk pada
janin, tindakan harus ditujukan pada upaya meningkatkan kondisi ibu sehingga
memungkinkan janin menjadi matang.
Evaluasi
kesejahteraan janin dilakukan melalui pengkajian pertumbuhan janin melalui
pemeriksaan ultrasonografi. Karena patofisiologi preeklamsia menyebabkan
insufisiensi plasenta dan uterus, maka janin berisiko mengalami hipoksia kronis
dan IUGR. Janin juga akan berisiko mengalami hipoksia kronis, jika kondisi ibu
semakin memburuk atau labil. Oleh karena itu, pemeriksaan biofisik secara
periodik akan membantu mengetahui status janin.
Apabila
preeklamsia yang dialami ringan dan muncul dalam kondisi yang tidak terlalu
mengkhawatirkan, ia dapat dirawat di rumah. Hal-hal yang diperlukan ibu adalah
memodifikasi pola tirah baring, memeriksa protein urine, dan memperbanyak
jumlah kunjungan rumah untuk memeriksa tekanan darah dan gejala lain. Semua
anggota keluarga juga harus diberi tahu tentang tanda dan gejala yang
menunjukkan perburukan kondisi preeklamsia. Selain itu, wanita harus mempunyai
akses ke pelayanan medis 24 jam. Oleh karena itu, perawatan di rumah bergantung
pada ada tidaknya seseorang yang bisa mengantar ibu ke rumah sakit terdekat
setiap saat. Ini berarti tidak dapat secara penuh menangani perawatan anak-anak
dan mengurus rumah tangga. Apabila ini tidak dapat dilakukan di rumah, perlu
dilakukan perawatan di rumah sakit.
Apabila
tekanan darah terus meningkat, proteinuria berlanjut, pemeriksaan laboratorium
mengindikasikan perburukan penyakit, atau ada keraguan tentang kondisi janin,
dianjurkan melakukan perawatan di rumah sakit hingga persalinan. Keputusan
untuk memperpanjang usia kehamilan harus dikaji ulang, tergantung pada
perkembangan penyakit ibu dan status janin.
Sebelum
persalinan, penatalaksanaan difokuskan pada pola tirah baring, pemeriksaan
tekanan darah secara teratur, pemeriksaan laboratorium, fungsi hati dan ginjal,
serta kondisi janin. Apabila semua hal tersebut dalam kondisi stabil, janin
dapat dipertahankan hingga matang sembari terus melakukan observasi. Untuk
mencegah kejangm biasanya diberikan magnesium sulfat. Dosisnya harus sesuai
dengan petunjuk dokter.
Cara
persalinan yang dipilih adalah pervaginam. Cara ini dapat menghindarkan ibu dan
janin dari stres lebih lanjut dan risiko pembedahan. Ketika keputusan
ditetapkan untuk melakukan persalinan, maka induksi persalinan segera dapat
dilakukan. Apabila persalinan pervaginam tidak dapat dilakukan sehubungan
dengan waktu yang mendesak atau karena ada kontraindikasi lain, maka persalinan
dapat dilakukan melalui seksio sesaria. Apabila ternyata seksio sesaria harus
dilakukan, maka pilihan anastesi yang dianjurkan adalah epidural. Pembiusan
secara umum sedapat mungkin dihindari karena hal ini akan meningkatkan risiko
preeklamsia.
Bab
V
Penutup
5.1 Kesimpulan
Tekanan darah (hipertensi) setelah
kehamilan ke-20 minggu ≥ 140 mmHg untuk sistolik dan ≥ 90 mmHg untuk diastolik
(sebelumnya disebut hipertensi yang dipicu kehamilan) tanpa proteinuria atau
hasil evaluasi laboratorium yang abnormal selama kehamilan dan yang kembali
normal 12 minggu pascapartum. Hipertensi pada ibu hamil dan yang tidak hamil
tentu berdeda, hipertensi pada saat kehamilan biasanya menimbulkan komplikasi
umum yang akan terjadi pada si ibu antara lain abrupsio plasenta, disseminated
intravascular coagulation, perdarahan otak, gagal hati, dan gagal ginjal akut.
Janin mempunyai risiko IUGR, prematur, dan kematian. Oleh karena itu, si ibu
harus rajin datang ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan kehamilannya agar
dapat penanganan jika ada gejala kelainan terhadap kehamilannya.
Daftar
Pustaka
Varney, Helen. dkk (2004). Buku
Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.